Monday 2 July 2018

ANALISIS PRAKTIK IJON DI DESA MAMBEN BARU BERDASARKAN TINJAUAN ISLAM


ANALISIS PRAKTIK IJON DI DESA MAMBEN BARU BERDASARKAN TINJAUAN ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah
Dosen: Misrahuddin M.Pd


DISUSUN OLEH:
NAMA           : HURDIANTI
N.I.R.M          : 2015.4.153.0031.1.1000140
JURUSAN     : S1 PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER   : VI (ENAM)


SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI) HAMZAR
LOMBOK TIMUR
2018


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena rahmat, taufiq dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Proposal ini tepat pada waktunya. Kedua kalinya sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan alam, nabi Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita kepada agama yang diridloi Allah SWT yakni agama Islam. Namun tanpa adanya bimbingan, dorongan, motivasi dan do’a, Proposal ini tidak akan terwujud.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan dimasa yang akan datang. Dan semoga Proposal ini bisa membawa manfaat bagi penulis khususnya, dan juga bagi orang lain. Amin.

Lombok Timur,  25 Mei 2018



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAAFTAR ISI..................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 4
B.     Identifikasi Masalah.................................................................................. 4
C.     Pembatasan Masalah................................................................................. 5
D.    Rumusan Masalah..................................................................................... 5
E.     Tujuan Penelitian....................................................................................... 5
BAB II KAJIAN TEORI..................................................................................... 6
A.    Penelitian Terdahulu.................................................................................. 6
B.     Deskripsi Teori.......................................................................................... 8
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................... 23
A.    Jenis Penelitian.......................................................................................... 23
B.     Pendekatan Penelitian............................................................................... 23
C.     Lokasi Penelitian....................................................................................... 23
D.    Objek Penelitian........................................................................................ 23
E.     Sumber Data.............................................................................................. 24
F.      Metode Pengumpulan Data....................................................................... 24
G.    Metode Analisis Data................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 27


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Jual beli merupakan kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan di dalam kehidupan manusia, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Di samping itu jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia.
Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk di panen). Pada zaman sekarang jual beli ijon ini masih sangat kerap kita temui. Terutama  pada masyarakat pedesaan. Praktek seperti ini lebih banyak berlaku pada tanaman pertanian. Jual beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh islam, dimana dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntugan tanpa adanya unsur ghoror.
Aktifitas warga Desa Mamben Baru sebagian besar adalah petani, peternak dan buruh tani. Sebagiannya lagi berdagang dan ada juga yang menjadi pegawai. Pertanian menjadi andalan sebagian besar warga dengan menanam padi, tembakau jagung dan lain sebagainya. Dan dalam penjualan produk hasil pertanian tidak jarang mereka menggunakan sistem ijon yang bisa saja merugikan salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat judul “ANALISIS PRAKTIK IJON DI DESA MAMBEN BARU BERDASARKAN TINJAUAN ISLAM”
B.     Identifikasi Masalah
Penelitian tersebut dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1.      Dengan sistem ijon, petani tidak bisa berbuat banyak
2.      Jika sistem ijon terus ada, maka petani kecil akan terus kesusahan
3.      Sistem jual beli ijon hanya menguntungkan bagi satu pihak
4.      Ketidaktauan para petani mengenai hukum jual beli ijon dalam islam

C.    Pembatasan Masalah
Penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan:
1.      Gambaran umum tentang Desa Mamben Baru
2.      Gambaran umum  dan tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli ijon
3.      Praktik jual beli ijon di Desa Mamben Baru
D.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran tentang Desa Mamben Baru?
2.      Bagaimana gambaran umum  dan tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli ijon?
3.      Bagaimana praktik jual beli ijon di Desa Mamben Baru
E.     Tujuan Penelitan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui bagaimana praktik jual beli ijon di Desa Mamben Baru berdasarkan tinjauan Islam.


BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Penelitian Terdahulu
Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka penelitian sebelumnya yang dipakai sebagai acuan penulis untuk mendukung dalam penelitian ini. Berikut adalah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya:
1.      Skripsi yang ditulis oleh Nur Laily Luthfia (2013), Mahasiswa  Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, berjudul "Sistem Ijon Dalam Jual Beli Ikan (Studi Kasus Jual Beli Ikan Di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal)". Di dalam skripsi tersebut dijelaskan mengenai praktik jual beli ijon dengan objek ikan. Praktik jual beli yang dilakukan di daerah tersebut yaitu dengan cara memberi modal kepada para nelayan yang tidak mempunyai biaya untuk melaut tetapi dengan syarat hasil tangkapan ikan yang diperoleh para nelayan harus dijual kepada juragan yang telah meminjamkan modalnya dan dalam penentuan harga hasil tangkapan ikan sepenuhnya yang menentukan adalah pembeli atau pemberi modal sedangkan penjual tidak ikut dalam menentukan harganya. Maka dari itu dalam penelitian tersebut  disimpulkan bahwa praktik jual beli tersebut tidak sah dan dilarang dalam hukum Islam.[1]
2.      Skripsi yang ditulis oleh Zakiatul Fitria, Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, berjudul “Praktik Jual Beli Buah-buahan di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Gampong Terbangan, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”. Di dalam skripsi tersebut dijelaskan praktik jual beli ijon dengan objek buah-buahan yang masih dipohon. Praktik jual beli buah-buahan di pohon di Gampong Terbangan yaitu memperjualbelikan seluruh hasil tanaman saat panen tiba. Dimana penjual membeli semua hasil tanaman milik si petani, baik itu buah-buahan maupun hasil tanaman yang lain. Praktik jual beli buah-buahan di pohon disini, si pedagang mendatangi si petani ketika itu pedagang melihat hasil tanaman milik para petani. Sistem yang digunakan dalam praktik jual beli buah-buahan di pohon di gampong Terbangan menggunakan sistem taksiran. Dimana pedagang menaksir jumlah buah-buahan yang masih di pohon milik si petani.[2]
3.      Jurnal hukum dan Ekonomi Syariah yang ditulis oleh Dri Santoso dan Lukman Hakim (2016), yang dikeluarkan oleh STAIN Jurai Siwo Metro, , dengan judul “Jual Beli Ijon Dalam Persektif Hukum Islam”.Penelitian ini menyimpulkan bahwa menurut jumhur ulama ( Malikiyah, Hanabilah dan Syafiiyah) jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan hukum jual beli tersebut adalah batal atau tidak sah karena sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama yang mengakibatkan kerugian salah satu pihak.[3]
4.      Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Ridwan, Mahasiswa  Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Institut Agama Islam Negeri Mataram, berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem Ijon Di Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat”. Di dalam skripsi tersebut dijelaskan praktik jual beli ijon dengan objek durian. Di desa Karang Bayan terdapat praktik jual beli durian dengan sistem ijon yang dimana ijon tersebut adalah membeli buah-buahan yang masih berada di pohon yang tentunya hal tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan akad.[4]



B.     Deskripsi Teori
1.      Desa Mamben Baru
Desa Mamben Baru merupakan desa pemekaran dari desa induknya Desa Mamben Lauq. Resmi menjadi desa otonom pada tahun 2011 setelah melalui proses yang cukup panjang sehingga dinyatakan resmi menjadi desa yang mencakup 4 wilayah dusun yakni Dusun Dasan Paok, Dusun Sukadamai, Dusun Orong Rantai Lauq dan Dusun Orong Rantai Daye.[5]
Tanggal 10 Juni 2012 menjadi momen yang tidak akan dilupakan oleh warga Desa Mamben Baru. Betapa tidak, pada hari itu dilangsungkan pemilihan pertama kepala desa yang juga menandakan babak baru bagi kebangkitan dan tonggak sejarah baru bagi desa yang baru tumbuh ini. 4 orang calon kandidat dari golongan tua dan golongan muda bersaing ketat dalam bursa pemilihan yang cukup menegangkan. Hari itu juga sekaligus membawa nama Kamaluddin sebagai kepala desa terpilih untuk memimpin Desa Mamben Baru.[6]
Resmi dilantik pada 10 Juli 2012, dihadapan ratusan tamu undangan dan warga desa, bapak 3 anak ini mengucapkan sumpah jabatan agar senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Kamaluddin diharapkan menjadi pencetak sejarah baru untuk masa depan desa yang lebih baik dengan mengobarkan semangat baru sesuai dengan namanya Mamben Baru.[7]
2.      Konsep jual beli dalam islam
Ø  Pengertian Jual Beli
Menurut Suhendi (2007) Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan  tentang jual beli (bisnis), diantaranya; ulamak  Hanafiyah “ Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang  disepakati”. Menurut  Imam nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar  barang  dengan barang  atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan. [8]
Ø  Dasar Hukum Jual Beli
Dasar  hukum jual beli adalah al-Qur’an dan alhadits, dan ijma’. Diantaranya:
a.       QS. al-Baqarah ayat 275:
Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba  (QS. Al-Baqarah : 275). ْ
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba.[9]
b.      Hadits Rasulullah SAW riwayat Imam Muslim:
Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil dan jual beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th : 156-157).                   
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan harga melonjak naik.[10]
c.       Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya.[11]
Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut: “Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu saja memberikan kepada orang lain” (al-Asqalani, t.th:287).[12]
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah jaiz ( boleh ). Namun tidak menutup kemungkinan perubahan status jual beli itu sendiri, semuanya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.[13]
Ø  Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS, 2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (,peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan ((DIKNAS, 2002:1114).[14] Menurut  jumhur  ulamak rukun jual beli itu ada empat (Zakaria, t.th:158),  yaitu:
1.      Akad
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad dapat dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut dapat dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul.[15]
2.      Orang yang berakad (subjek)
Dua  pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari (pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad dalam jual beli, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya.[16]
3.       Ma’kud ‘alaih (objek)
Menurut Chairuman dan Suhwardi (1996) Untuk menjadi sahnya jual beli harus ada ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.[17]
4.      Ada nilai tukar pengganti barang,
Nilai tukar pengganti barang, yaitu  sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange) seperti uang.
Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam juala beli (bisnis), yaitu:
1.      syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal ada tiga; (a) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul, (b) Orang – orang yang berakad (penjual dan pembeli ) dan (c) Jangan ada yang memisahkan maksudnya penjual dan pembeli masih ada interaksi tentang ijab qobul.[18]
2.      Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh”. (an-Nisaa’/4 : 5),  (b) beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda benda tertentu. Misalnya, dilarang menjual hamba yang beragama Islam kepada orang kafir, karena di takutkan pembeli merandahkan orang yang beragama Islam. Sebagimana firman Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orangorang kafir untuk memusnakan  orang-orang yang beriman”.(anNisaa’/4:141), (c) ada benda  atau barang yang di perjualkan belikan (ma’kud alaih) dan (d) tidak mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari pihak lain.[19]
3.      Syarat sahnya  barang yang dijual belikan diantaranya; (a) harus suci dan tidak terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk pupuk tanaman, anjing untuk keamanan, (b) tidak boleh  mengkait–kaitkan dengan  sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal, aku akan menjual motor ini, (c) tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu sebab kepemilikan, (d) barang dapat diserahkan setelah kesepakatan akad, (e) barang yang diperjual belikan milik sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut hasil mencuri atau barang titipan yang tidak diperintahkan untuk menjualkan, (f) barang yang diperjual belikan dapat diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan keraguan.[20]
4.      Di samping itu, ada beberapa syarat lain berkaitan dengan jual beli, yaitu berkaitan dengan akad salam ( pesanan) (a) sifatnya harus memungkinkan dapat dijangkau pembeli untuk dapat ditimbang atau diukur, (b) dalam akad harus disebutkan kualitas dari barang yang akan diperjual belikan, (c) barang yang di serahkan sebaiknya barang yang di perjual belikan dipasar dan (d) harga hendaknya disetujui pada saat ditempat akad berlangsung. Apabila dalam akad salam (pesanan) penjual dan pembeli tidak melaksanakan salah satu syarat yang telah ditentukan maka akad jual beli itu belum dikatakan sah dalam syara’ yang berlaku.[21]
Ø  Macam-Macam Jual Beli  dalam Islam
Jual beli  ditinjau dari segi benda dibagi menjadi tiga macam. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Jual beli barang yang kelihatan, 2) Jual beli yang disebutkan sifat–sfat nya dalam janji dan 3). Jual beli benda yang tidak ada.[22]
Jual beli benda yang kelihatan maksudnya pada waktu melakukan akad jual beli antara pembeli dan penjual ada yang di perjual belikan ada di depan mata. Hal ini banyak masyarakat yang melakukannya, ini dibolehkan, contoh di pasar membeli beras. Tapi, juga ada praktek di masyarakat jual beli yang hanya menyebutkan sifatnya  atau contohnya, hal ini dilakukan di masyarakat dalam jual beli pesan barang, misalnya, pesan makanan, disebut bai’ salam dalam hukum Islam dibolehkan. Sedangakan jual beli yang barangnya belum ada atau sifatnya belum ada seperti membeli kacang dalam tanah, membeli ikan dalam kolam belum jelas, dalam hukum Islam tidak diperbolehkan. Kecuali bagi orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian dalam menaksir, maka diperbolehkan.[23]
Ø  Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli
Untuk menghindari dari kerugian salah satu pihak maka jual beli haruslah dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan bagi kedua belah pihak maka kedua belah pihak haruslah melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, diantaranya:  pihak penjual menyerahkan barangnya sedangkan pihak pembeli menyerahkan uangnya sebagai pembayaran. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hendaklah dilakukan penulisan dari transaksi tersebut. Sebagaiman firman Allah SWT yang artinya: “Hai orang-orang  yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar” (QS. Al-Baqarah: 282).[24]
Selain penulisan untuk menghindari dari kemungkinan perselisihan, pengingkaran dan pemalsuan, maka diperlukan adanya saksi. Firman Allah:  “Dan periksakanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (diantaramu), jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorng lelaki dan dua orang perempuan dari saksisaksi yang ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya” (QS. Al-Baqarah: 282). Dalam ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa antara penjual dan pembeli mempunyai hak dan kewajiban, yang mana hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.[25]
Ø  Khiyar dalam Bisnis Islam
Khiar adalah mencari kebaikan dari kedua perkara yaitu melangsungkan atau membatalkan (Sabiq,1988:100). Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkannya memilih apakah jual itu diteruskan apa dibatalkan karena suatu hal (suhendi, 2007:83).[26]
Adapun dasar hukum khiyar di jelaskan pada hadits sebagai berikut :
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda : masing-masing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi jual beli dianatara mereka sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual beli khiyar (Muslim,t.th:22).[27]
Khiyar secara umum dibagi  menjadi  tiga, yaitu:
Pertama, Khiyar  Majelis , artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya saat teransaksi  masih berlangsung ditempat teransaksi, apabila akad dalam jual beli telah dilaksanakan oleh pihak penjual dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama keduanya masih berada di tempat akad (Sabiq, 1988:101). Khiyar majelis dinyatakan gugur apabila dibatalkan penjual dan pembeli setelah akad, apabila salah satu dari keduanya membatalkan maka khiyar yang lain masih berlaku dan khiyar terputus apabilah salah satu dari keduanya telah meninggal dunia (Sabiq, 1988: 209).[28]
Kedua, Khiyar Syarat, yaitu penjual dan pembeli di dalamnya disyaratkan sesuatu boleh penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai di beli kalau tidak pas atau tidak cocok boleh di kembalikan. Dalam penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu yang baik oleh penjual maupun pembeli (Suhendi,2007:84).[29]
Sebab-sebab berakhirnya khiyar syarat adalah sebagai berikut : (a) adanya pembatalan akad, (b) melewati batas waktu khiyar yang telah disepakati/ditetapkan. Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu khiyar, menurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jangka waktu khiyar adalah tiga hari, sedangkan menurut Imam Malik jangka waktu khiyar adalah sesuai dengan kebutuhan (Sabiq,1988:102 ), (c) terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak atau mengembang, (d) terjadi kerusakan pada objek akad. Jika kerusakaan tersebut terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berkhirlah khiyar. Namun apabila kerusakaan terjadi dalam penguasaan pihak pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad dan (e) wafatnya Shohibul khiyar, ini menurut pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliah. Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris ketika shohibul khiyar telah wafat (Mas’adi,2002:111).[30]
Ketiga, Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda – benda yang dijual belikan, misalnya jika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai rumah ada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalikan barang tersebut kepada penjual (Rasjid,1976:277). Hak yang dimiliki oleh salah seorang dari aqidain untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika menemukan cacat pada objek akad dimana pihak lain tidak memberitahukannya pada saat akad (Mas’adi,2002:112). Khiyar aib ini didasarkan pada hadits Uqbah Ibn Amir, r.a: Dari Uqbah Ibn Amr berkata : saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang mengandung kecacatan kecuali ia harus menjelaskan kepadanya.[31]
Khiyar aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; (a) Aib ( cacat) tersebut sebelum akad atau setelah akad namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat tersebut terjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam penguasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar, (b) Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung akad atau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya telah mengetahuinya maka tidak ada hak khiyar baginya (c) Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak khiyar bagi pembeli menjadi gugur.[32]
Khiyar aib ini berlaku semenjak pembeli mengetahui cacat setelah berlangsungnya akad. Adapun batas waktu menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqoha. Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku secara tarakhi (pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika ia mengetahui cacat tersebut). Sedang menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi‟iyah, batas waktunya berlaku secara faura (seketika, artinya pihak yang dirugikan harus menggunakan hak khiyar secepat mungkin, jika ia mengulur- ulur waktu tanpa alasan yang dapat dibenarkan maka hak khiyar gugur dan akad dianggap telah lazim / pasti).[33]
Hak khiyar aib ini gugur apabila: (a) Pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat tersebut, (b) Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad, (c) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan pihak pembeli dan (d) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun dari segi ukuran seperti mengembang.[34]
3.      Konsep Jual beli ijon
Ø  Pengertian ijon
Jual beli ijon disisni adalah jual beli buah yang belum jelas kemanfaatanya, karena jual beli buah yang belum berbentuk ( masih berupa bunga atau belum muncul sama sekali ) adalah jual beli yang dilarang menurut para ulama’ karena jual beli semacam itu termasuk dalam kategori jual beli yang belum dimiliki atau jual beli ghoror ( penipuan karena pasti salah satu pelaku akan tertimpa kerugian).[35]
Dalil-dalil yang berkaitan:
1.      Dari Ibnu Umar r.ha : “ Rosululloh melarang jual beli buah hingga terlihat jelas kebaikanya, beliau melarang dari menjual maupun membeli “ ( dikeluarkan oleh ashabussunan kecuali Tirmidzi ) dan dalam riwayat yang lain apa bila beliau ditanya tentang kebaikan tersebut, beliau menjawab, sampai hilang gangguanya “. [36]
2.      Dari Annas bin Malik r.a dari Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam : beliau melarang jual beli buah sampai berkembang, dikatakan bagaimana berkembangnya ?, beliau menjawab, memerah atau menguning. ( dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim ) [37]
3.      Dari Anas r.a adalah Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam melarang jual beli anggur sampai menghitam dan biji sampai mengeras ( dikeluarkan oleh Imam yang 5 kecuali Hakim dan Ibnu Hibban ) [38]
4.      Dari Abu Huroiroh r.a berkata : “ Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian jual beli buah hingga jelas kemanfaatanya “ ( dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Muslim, An-Nasa’I dan Ibnu Hibban)[39]
Berdasarkan hadits-hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa jelas kemanfaatan dimana buah tersebut sudah bisa dimanfaatkan dapat dilihat dari dua perkara : 1. Nampak tanda-tanda masak, sebagaimana riwayat pertama ( memerah atau menguning ) dan pada riwayat kedua ( sampai menghitamnya anggur dan mengerasnya biji ) 2. Hilangnya gangguan atau penyakit, hal ini di dasarkan kepada kekuatan perkiraan bahwa buah tersebut tidak terserang penyakit, sebagaiman riwayat Ibnu Umar ketika Rosul ditanya tentang kemanfaatanya, beliau menjawab, sampai hilang penyakitnya.[40]
Ø  Hukum jual beli ijon
Jual beli buah yang belum Nampak kemanfaatanya ( ijon ) tidak akan terlepas dari dua kemungkinan yaitu buah tersebut dijual tersendiri maupun dijual beserta pangkalnya ( pohonya ), jika dijual buahnya saja maka akan masuk kepada dua kemungkinan pula, yaitu adanya pensyaratan pemetikan langsung dan adanya pensyaratan dibiarkan menetap di pohon, atau tidak adanya syarat secara mutlak ( bisa jadi dipetik sebagian dibiarkan sebagian yang lain ). Adapun jual beli buah beserta pohonya, maka tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ tentang kebolehanya, karena buah masuk dalam bagian dari pohon yang dijual belikan, sehingga dalam hal ini tidak terdapat unsure penipuan dan saling merugikan.[41]
Demikian pula menjual buah secara terpisah dari pohonya ( jual buahnya saja ) dengan syarat segera dipetik, para ulama’ juga membolehkan dengan syarat buah yang dibeli tersebut telah mendatangkan manfaat bagi pembelinya. Begitu pula jika pembeli merupakan pemilik asal ( pohon ) , hukumnya adalah boleh secara mutlak menurut para fuqoha’, hal ini dikarenakan terjadinya kepemilikan secara sempurna kepada pembeli, tidak ada alasan dalam hal ini meskipun penjual mensyaratkan adanya pemetikan secara langsung, maka pembeli tidak harus mensyaratkan adanya pemetikan secara langsung, maka pembeli tidak harus melaksanakan. Namun sebagian ulama’ berpendapat tetap tidak diperbolehkan berdasarkan keumuman dalil, serta masih adanya unsur goror dengan kemungkinan rusak sebelum dipetik.[42]
Jika penjualan buah secara tersendiri ( tidak beserta pohonya ) dan pembeli mensyaratkan adanya ketetapan di pohon ( tidak langsung dipetik ) maka menurut jumhur fuqoha’ jual beli seperti ini adalah haram.[43]
Apabila pembeli bukan merupakan pemilik asli ( pohon ) dan ia hanya membeli buahnya saja, dia tidak mensyaratkan adanya pemetikan secara langsung atau pembiaran di pohon, jumhur ulama’ mengatakan harom hukumnya disebabkan karena keumuman dalil, sedang menurut madzhab Hanafi, aqd seperti ini boleh tetapi si pembeli harus segera memetiknya.[44]
 Kedudukan larangan:
1.      Jumhur ulama’, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bersepakat bahwa jual beli ijon dengan system yang telah disebutkan di atas adalah batil dan hukumnya harom.
2.      Menurut Hanafiyah : akad seperti ini rusak tetapi tidak batal, yaitu apabila pembeli bukan merupakan pemilik asli ( pohon ) kemudian ia mensyaratkan ketetapan di pohon.[45]
Ø  Jual beli ijon sama dengan riba
Selama ini kebanyakan dari kita mengira bahwa riba semata mata hanyalah membungakan uang. Padahal pengertian riba jauh lebih luas daripada itu. Segala jenis transaksi yang membuat nilai tukar suatu barang terhadap barang lain atau alat tukar menjadi berlebih dan tidak sepatutnya, (unjustified increment of the value by its countervalue) termasuk dalam riba. Membeli sesuatu yang tidak jelas bentuknya / belum ada alias IJON adalah riba. Membeli anak sapi yang masih dalam kandungan, itu jelas jelas riba. Dengan demikian, future trading atau bahasa kerennya bursa komoditi adalah jelas jelas riba. [46]
Ø  Alasan petani lebih menyukai sistem ijon
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.[47]
Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat.[48]
Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.[49]
Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak runtuh-runtuh.[50]
Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon.[51]


BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian lapangan. Penelitian lapangan merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan pengetahuan mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak peneliti. Penelitian lapangan biasa dilakukan untuk memutuskan ke arah mana penelitiannya berdasarkan konteks. Penelitian lapangan biasa diadakan di luar ruangan.[52]
B.     Pendekatan Penelitian
Berdasarkan jenis penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, karena dalam penelitian ini lebih mengarah pada pengamatan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada memahami fenomena atau gejala sosial tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian guna memperoleh pemahaman yang mendalam yang selanjutnya menghasilkan sebuah teori.[53]
C.    Lokasi Penelitian
Adapun penelitian ini dilaksanakan di Desa Mamben Baru Kec.Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
D.    Objek Penelitian
Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah praktik jual beli ijon di Desa Desa Mamben Baru Kec.Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
E.     Sumber Data
Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung dari tangan pertama, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer yaitu Masyarakat Desa Mamben Baru Kec.Wanasaba Kabupaten Lombok Timur yang terdiri dari: para pembeli dan penjual yang melakukan praktik jual beli ijon.
Penulis mendapatkan data primer dari masyarakat Mamben Baru dengan cara observasi(pengamatan) yang berkaitan dengan praktik jual beli dengan sistem ijon.
Penulis mengambil data sekunder berupa buku-buku, jurnal, ataupun artikel dari internet tentang hukum jual beli dengan sistem ijon.
F.     Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis pakai adalah Pengamatan (observasi).
Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket) namun juga dapat digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakan bila penelitian ditujukan untuk mempelajari perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan dilakukan pada responden yang tidak terlalu besar.[54]
G.    Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, maka tahap berikutnya adalah menganalisis data tersebut. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.[55]
Analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dikaji dimulai sejak sebelum peneliti memasuki lapangan, dilanjutkan pada saat peneliti berada di lapangan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas sehingga datanya jenuh. Kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru.[56]
Dalam menganalisis data selama di lapangan, peneliti menggunakan analisis model Miles dan Huberman. Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing  / verification).[57]
Adapun langkah-langkah analisis yang peneliti lakukan selama di lapangan  diantaranya adalah:
1.      Reduksi data
Mereduksi data berarti membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, mencari tema dan pola, serta membuang yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian, data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih spesisifk dan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya serta mencari data tambahan jika diperlukan. Semakin lama peneliti berada di lapangan, jumlah data akan semakin banyak, semakin kompleks dan rumit. Untuk itulah diperlukan reduksi data sehingga data tidak betumpuk dan mempersulit analisis selanjutnya.[58]
2.      Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah penyajian (display) data. Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian naratif, bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), dan lain sejenisnya. Penyajian data dalam bentuk-bentuk tersebut akan memudahkan peneliti memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya.[59]
3.      Verifikasi Data (Conclusion Drawing)
Langkah berikutnya dalam proses analisis data kualitatif adalah menarik kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Kesimpulan awal yang dikemukan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.[60]
 
DAFTAR PUSTAKA

Nur Laily Lutfiah, “Sistem Ijon Dalam Jual Beli Ikan (Studi Kasus Jual Beli Ikan Di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, Skripsi (IAIN Walisongo, Semarang,2013) http//www.eprints.walisongo.ac.id/629/1/082311024.coverdll.pdf (diambil 26 Juni 2018).
Zakiatul Fitria, “Praktik Jual Beli Buah-buahan di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Gampong Terbangan, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”, Skripsi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, 2016, https://repository.ar-
            raniry.ac.id/1759/1/Zakiatul%20Fitria.pdf (diambil 26 Juni 2018).
Dri Santoso, Lukman Hakim, “Jual Beli Ijon Dalam Persektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2013, hal.4.
Ahmad Ridwan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem Ijon Di Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat” Skripsi Institut Agama Islam Negeri Mataram (2010) ,http://etheses.uinmataram.ac.id/61/1/Ahmad%20Ridwan152121028pdf%20.pdf (diambil 26 Juni 2018).
Salahuddin Mukhlis, “Kajian Perekonomian Desa Mamben Baru Dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat” (07 September 2014), http://salahuddininstitute.blogspot.com/2014/09/kajian-perekonomian-desa-mamben-baru.html , (akses 03 Mei 2018).
Shobirin, “Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hal 242-259.
Ponpes Islam Al Ittihad Banyumas, “Jual Beli Ijon” (25 Februari 2015), http://ppialittihad.blogspot.co.id/2012/02/jual-beli-ijon.html (akses 03 Mei 2018)
Ichlasul Amal Rangga Winata, “Sistem Ijon Sama Dengan Riba” (16 Januari 2009), http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/sistem-ijon-sama-dengan-riba.html (akses 03 Mei 2018)
Wikipedia, “Penelitian Lapangan”
            http://id.m.wikipedia.org/wiki/Penelitian_lapangan.html (akses 26 Juni 2018)
Fajar Fitrianto, “Pendekatan kualitatif & Kuantitatif” (28 Maret 2017), http://fajarfitrianto.hol.es/?p=762.html (akses 26 Juni 2018)
Rezky Ardian Sepputra, “Artikel Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian” (04 November 2016), http://rezkyardian.blogspot.in/2016/11/artikel-metode-pengumpulan-data-dalam.html (akses 19 Mei 2018).
Masri Singarimbun dan Sofyan Affendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 263.
Rahmat Sahid, Analisis Data Penelitian Kualitatif Model Miles Dan Huberman” (11 Juli 2011), http://sangit26.blogspot.com/2011/07/analisis-data-penelitian-kualitatif.html , (akses 19 Mei 2018)
Surya Dharma, “Pengolahan Dan Analisis Data Penelitian” (Jakarta, Juni 2008) hal 13.  http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/downloads/2011/02/31-05-B5-Pengolahan-dan-Analisis-Data-Penelitian.doc (diambil 19 Mei 2018)



[1] Nur Laily Lutfiah, “Sistem Ijon Dalam Jual Beli Ikan (Studi Kasus Jual Beli Ikan Di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, Skripsi (IAIN Walisongo, Semarang,2013) http//www.eprints.walisongo.ac.id/629/1/082311024.coverdll.pdf (diambil 26 Juni 2018).
[2] Zakiatul Fitria, “Praktik Jual Beli Buah-buahan di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Gampong Terbangan, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”, Skripsi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, 2016, https://repository.ar-raniry.ac.id/1759/1/Zakiatul%20Fitria.pdf (diambil 26 Juni 2018).
[3] Dri Santoso, Lukman Hakim, “Jual Beli Ijon Dalam Persektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2013, hal.4.
[4] Ahmad Ridwan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem Ijon Di Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat” Skripsi Institut Agama Islam Negeri Mataram (2010) ,http://etheses.uinmataram.ac.id/61/1/Ahmad%20Ridwan152121028pdf%20.pdf (diambil 26 Juni 2018).
[5] Salahuddin Mukhlis, “Kajian Perekonomian Desa Mamben Baru Dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat” (07 September 2014), http://salahuddininstitute.blogspot.com/2014/09/kajian-perekonomian-desa-mamben-baru.html , (akses 03 Mei 2018).
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Shobirin, “Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hal 242.
[9] Ibid, hal 243.
[10] Ibid, hal 244.
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 245.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid, hal 247-248.
[16] Ibid, hal 248
[17] Ibid, hal. 249
[18] Ibid, hal 251
[19] Ibid, hal 251-252
[20] Ibid, hal 252
[21] Ibid, hal 253
[22] Ibid, hal 255
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid, hal 256
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid, hal 257
[29] Ibid
[30] Ibid, hal 257-258
[31] Ibid, hal 258
[32] Ibid, hal 258
[33] Ibid, hal 259
[34] Ibid
[35] Ponpes Islam Al Ittihad Banyumas, “Jual Beli Ijon” (25 Februari 2015), http://ppialittihad.blogspot.co.id/2012/02/jual-beli-ijon.html (akses 03 Mei 2018)
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Ibid
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Ichlasul Amal Rangga Winata, “Sistem Ijon Sama Dengan Riba” (16 Januari 2009), http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/sistem-ijon-sama-dengan-riba.html (akses 03 Mei 2018)
[47] Ibid
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Wikipedia, “Penelitian Lapangan” http://id.m.wikipedia.org/wiki/Penelitian_lapangan.html (akses 26 Juni 2018)
[53] Fajar Fitrianto, “Pendekatan kualitatif & Kuantitatif” (28 Maret 2017), http://fajarfitrianto.hol.es/?p=762.html (akses 26 Juni 2018)
[54] Rezky Ardian Sepputra, “Artikel Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian” (04 November 2016), http://rezkyardian.blogspot.in/2016/11/artikel-metode-pengumpulan-data-dalam.html (akses 19 Mei 2018).
[55] Masri Singarimbun dan Sofyan Affendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 263.
[56] Rahmat Sahid, Analisis Data Penelitian Kualitatif Model Miles Dan Huberman” (11 Juli 2011), http://sangit26.blogspot.com/2011/07/analisis-data-penelitian-kualitatif.html , (akses 19 Mei 2018)
[57] Ibid
[58] Surya Dharma, “Pengolahan Dan Analisis Data Penelitian” (Jakarta, Juni 2008) hal 13.  http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/downloads/2011/02/31-05-B5-Pengolahan-dan-Analisis-Data-Penelitian.doc (diambil 19 Mei 2018)
[59] Ibid
[60] Ibid

No comments:

Post a Comment