ANALISIS PRAKTIK IJON DI DESA MAMBEN
BARU BERDASARKAN TINJAUAN ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan
Penulisan Karya Ilmiah
Dosen: Misrahuddin M.Pd
DISUSUN OLEH:
NAMA : HURDIANTI
N.I.R.M : 2015.4.153.0031.1.1000140
JURUSAN : S1 PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER : VI (ENAM)
SEKOLAH
TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI) HAMZAR
LOMBOK
TIMUR
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT
karena rahmat, taufiq dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Proposal ini
tepat pada waktunya. Kedua kalinya sholawat serta salam tetap tercurahkan
kepada junjungan alam, nabi Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita kepada
agama yang diridloi Allah SWT yakni agama Islam. Namun tanpa adanya bimbingan,
dorongan, motivasi dan do’a, Proposal ini tidak akan terwujud.
Akhir kata penulis mengharapkan
kritik maupun saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan dimasa yang
akan datang. Dan semoga Proposal ini bisa membawa manfaat bagi penulis
khususnya, dan juga bagi orang lain. Amin.
Lombok Timur, 25 Mei 2018
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAAFTAR
ISI..................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 4
A. Latar
Belakang Masalah............................................................................ 4
B.
Identifikasi Masalah.................................................................................. 4
C.
Pembatasan Masalah................................................................................. 5
D.
Rumusan Masalah..................................................................................... 5
E. Tujuan
Penelitian....................................................................................... 5
BAB II
KAJIAN TEORI..................................................................................... 6
A. Penelitian
Terdahulu.................................................................................. 6
B. Deskripsi
Teori.......................................................................................... 8
BAB III
METODE PENELITIAN...................................................................... 23
A. Jenis Penelitian.......................................................................................... 23
B.
Pendekatan Penelitian............................................................................... 23
C.
Lokasi Penelitian....................................................................................... 23
D.
Objek Penelitian........................................................................................ 23
E.
Sumber Data.............................................................................................. 24
F.
Metode Pengumpulan Data....................................................................... 24
G. Metode Analisis Data................................................................................ 24
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 27
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Jual beli merupakan kebutuhan yang
tidak mungkin ditinggalkan di dalam kehidupan manusia, sehingga manusia tidak
dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. Di samping itu jual beli juga merupakan
sarana tolong menolong antara sesama manusia.
Sejalan dengan perkembangan zaman,
persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya
adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau
biji yang belum siap untuk di panen). Pada zaman sekarang jual beli ijon ini
masih sangat kerap kita temui. Terutama pada masyarakat pedesaan. Praktek
seperti ini lebih banyak berlaku pada tanaman pertanian. Jual beli dengan cara
salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh islam, dimana dengan akad ini
kedua belah pihak mendapatkan keuntugan tanpa adanya unsur ghoror.
Aktifitas
warga Desa Mamben Baru sebagian besar adalah petani, peternak dan buruh tani.
Sebagiannya lagi berdagang dan ada juga yang menjadi pegawai. Pertanian menjadi
andalan sebagian besar warga dengan menanam padi, tembakau jagung dan lain
sebagainya. Dan dalam penjualan produk hasil pertanian tidak jarang mereka
menggunakan sistem ijon yang bisa saja merugikan salah satu pihak, baik penjual
maupun pembeli.
Berdasarkan hal tersebut penulis
tertarik untuk mengangkat judul “ANALISIS
PRAKTIK IJON DI DESA MAMBEN BARU BERDASARKAN TINJAUAN ISLAM”
B.
Identifikasi Masalah
Penelitian tersebut dapat
diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1. Dengan sistem ijon, petani tidak
bisa berbuat banyak
2. Jika sistem ijon terus ada, maka
petani kecil akan terus kesusahan
3. Sistem jual beli ijon hanya
menguntungkan bagi satu pihak
4. Ketidaktauan para petani mengenai
hukum jual beli ijon dalam islam
C.
Pembatasan Masalah
Penulis membatasi diri hanya
berkaitan dengan:
1. Gambaran umum tentang Desa Mamben
Baru
2. Gambaran umum dan tinjauan hukum islam tentang praktik jual
beli ijon
3. Praktik jual beli ijon di Desa
Mamben Baru
D.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran tentang Desa
Mamben Baru?
2. Bagaimana gambaran umum dan tinjauan hukum islam tentang praktik jual
beli ijon?
3. Bagaimana praktik jual beli ijon di
Desa Mamben Baru
E.
Tujuan Penelitan
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui bagaimana praktik jual
beli ijon di Desa
Mamben Baru berdasarkan tinjauan Islam.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka penelitian
sebelumnya yang dipakai sebagai acuan penulis untuk mendukung dalam penelitian
ini. Berikut adalah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya:
1. Skripsi yang
ditulis oleh Nur Laily Luthfia (2013), Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, berjudul "Sistem Ijon Dalam Jual
Beli Ikan (Studi Kasus Jual Beli Ikan Di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari
Kabupaten Kendal)". Di dalam skripsi tersebut dijelaskan mengenai praktik
jual beli ijon dengan objek ikan. Praktik jual beli yang dilakukan di daerah
tersebut yaitu dengan cara memberi modal kepada para nelayan yang tidak
mempunyai biaya untuk melaut tetapi dengan syarat hasil tangkapan ikan yang
diperoleh para nelayan harus dijual kepada juragan yang telah meminjamkan
modalnya dan dalam penentuan harga hasil tangkapan ikan sepenuhnya yang
menentukan adalah pembeli atau pemberi modal sedangkan penjual tidak ikut dalam
menentukan harganya. Maka dari itu dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa praktik jual beli tersebut
tidak sah dan dilarang dalam hukum Islam.[1]
2. Skripsi yang
ditulis oleh Zakiatul Fitria, Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, berjudul “Praktik
Jual Beli Buah-buahan di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di
Gampong Terbangan, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”. Di dalam skripsi
tersebut dijelaskan praktik jual beli ijon dengan objek buah-buahan yang masih
dipohon. Praktik jual beli buah-buahan di pohon di Gampong Terbangan yaitu
memperjualbelikan seluruh hasil tanaman saat panen tiba. Dimana penjual membeli
semua hasil tanaman milik si petani, baik itu buah-buahan maupun hasil tanaman
yang lain. Praktik jual beli buah-buahan di pohon disini, si pedagang
mendatangi si petani ketika itu pedagang melihat hasil tanaman milik para petani.
Sistem yang digunakan dalam praktik jual beli buah-buahan di pohon di gampong
Terbangan menggunakan sistem taksiran. Dimana pedagang menaksir jumlah
buah-buahan yang masih di pohon milik si petani.[2]
3. Jurnal hukum
dan Ekonomi Syariah yang ditulis oleh Dri Santoso dan Lukman Hakim (2016), yang
dikeluarkan oleh STAIN Jurai Siwo Metro, , dengan judul “Jual Beli Ijon Dalam
Persektif Hukum Islam”.Penelitian ini menyimpulkan bahwa menurut jumhur ulama (
Malikiyah, Hanabilah dan Syafiiyah) jual beli yang belum pantas (masih hijau)
secara mutlak tanpa persyaratan hukum jual beli tersebut adalah batal atau
tidak sah karena sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah
gugurnya buah atau ada serangan hama yang mengakibatkan kerugian salah satu
pihak.[3]
4. Skripsi yang
ditulis oleh Ahmad Ridwan, Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Institut Agama Islam Negeri Mataram,
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem
Ijon Di Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat”. Di dalam
skripsi tersebut dijelaskan praktik jual beli ijon dengan objek durian. Di desa
Karang Bayan terdapat praktik jual beli durian dengan sistem ijon yang dimana
ijon tersebut adalah membeli buah-buahan yang masih berada di pohon yang tentunya
hal tersebut dapat merugikan salah satu pihak yang melakukan akad.[4]
B. Deskripsi Teori
1.
Desa Mamben
Baru
Desa Mamben Baru merupakan desa pemekaran dari desa
induknya Desa Mamben Lauq. Resmi menjadi desa otonom pada tahun 2011 setelah
melalui proses yang cukup panjang sehingga dinyatakan resmi menjadi desa yang
mencakup 4 wilayah dusun yakni Dusun Dasan Paok, Dusun Sukadamai, Dusun Orong
Rantai Lauq dan Dusun Orong Rantai Daye.[5]
Tanggal 10 Juni 2012 menjadi momen yang tidak akan
dilupakan oleh warga Desa Mamben Baru. Betapa tidak, pada hari itu
dilangsungkan pemilihan pertama kepala desa yang juga menandakan babak baru
bagi kebangkitan dan tonggak sejarah baru bagi desa yang baru tumbuh ini. 4
orang calon kandidat dari golongan tua dan golongan muda bersaing ketat dalam
bursa pemilihan yang cukup menegangkan. Hari itu juga sekaligus membawa nama
Kamaluddin sebagai kepala desa terpilih untuk memimpin Desa Mamben Baru.[6]
Resmi dilantik pada 10 Juli 2012, dihadapan ratusan
tamu undangan dan warga desa, bapak 3 anak ini mengucapkan sumpah jabatan agar
senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Kamaluddin diharapkan menjadi
pencetak sejarah baru untuk masa depan desa yang lebih baik dengan mengobarkan
semangat baru sesuai dengan namanya Mamben Baru.[7]
2.
Konsep jual beli dalam islam
Ø Pengertian Jual Beli
Menurut
Suhendi (2007) Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang jual beli (bisnis), diantaranya;
ulamak Hanafiyah “ Jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di
bolehkan) syara’ yang disepakati”.
Menurut Imam nawawi dalam al-majmu’
mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar
saling merelakan. [8]
Ø Dasar Hukum Jual Beli
Dasar hukum jual beli adalah al-Qur’an dan
alhadits, dan ijma’. Diantaranya:
a. QS.
al-Baqarah ayat 275:
Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275). ْ
Berdasarkan
ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli
kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek jual beli yang
mengandung riba.[9]
b. Hadits
Rasulullah SAW riwayat Imam Muslim:
Dari
Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil dan jual
beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th :
156-157).
Berdasarkan
hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual beli
menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram
seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan
harga melonjak naik.[10]
c. Ijma’
Ulama
telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak
akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual
dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang
lainnya.[11]
Adapun
dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah sebagaimana yang telah diterangkan
oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut: “Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam
tentang kebolehan jual beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia
tergantung pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu
saja memberikan kepada orang lain” (al-Asqalani, t.th:287).[12]
Berdasarkan
dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah jaiz ( boleh
). Namun tidak menutup kemungkinan perubahan status jual beli itu sendiri,
semuanya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.[13]
Ø Rukun dan Syarat Jual
Beli dalam Islam
Rukun
secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan (DIKNAS,
2002:966). Sedangkan syarat adalah ketentuan (,peraturan, petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan ((DIKNAS, 2002:1114).[14]
Menurut jumhur ulamak rukun jual beli itu ada empat
(Zakaria, t.th:158), yaitu:
1. Akad
Akad
ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah
sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul
dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi
(penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad dapat dilakukan
dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut dapat
dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul.[15]
2. Orang
yang berakad (subjek)
Dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari
(pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad dalam jual beli,
dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya.[16]
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Menurut
Chairuman dan Suhwardi (1996) Untuk menjadi sahnya jual beli harus ada ma’qud
alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya
perjanjian jual beli.[17]
4. Ada
nilai tukar pengganti barang,
Nilai
tukar pengganti barang, yaitu sesuatu
yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai
atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar
(medium of exchange) seperti uang.
Empat
rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam juala beli
(bisnis), yaitu:
1. syarat
sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal ada tiga; (a) Jangan di
selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul, (b) Orang – orang yang berakad
(penjual dan pembeli ) dan (c) Jangan ada yang memisahkan maksudnya penjual dan
pembeli masih ada interaksi tentang ijab qobul.[18]
2. Syarat
sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut; (a) baligh berakal agar tidak mudah
ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang
bodoh”. (an-Nisaa’/4 : 5), (b) beragama
Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda benda tertentu. Misalnya,
dilarang menjual hamba yang beragama Islam kepada orang kafir, karena di
takutkan pembeli merandahkan orang yang beragama Islam. Sebagimana firman
Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orangorang kafir
untuk memusnakan orang-orang yang
beriman”.(anNisaa’/4:141), (c) ada benda
atau barang yang di perjualkan belikan (ma’kud alaih) dan (d) tidak
mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari pihak lain.[19]
3. Syarat
sahnya barang yang dijual belikan
diantaranya; (a) harus suci dan tidak terkena dengan najis, seperti anjing,
babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi dharurah dan ada asas manfaatnya.
Misalanya, kotoran hewan untuk pupuk tanaman, anjing untuk keamanan, (b) tidak
boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal,
aku akan menjual motor ini, (c) tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak
boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi hak itu merupakan hak
dari pembeli karena itu salah satu sebab kepemilikan, (d) barang dapat
diserahkan setelah kesepakatan akad, (e) barang yang diperjual belikan milik
sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut hasil mencuri
atau barang titipan yang tidak diperintahkan untuk menjualkan, (f) barang yang
diperjual belikan dapat diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan
harus diketahui kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak
menimbulkan keraguan.[20]
4. Di
samping itu, ada beberapa syarat lain berkaitan dengan jual beli, yaitu
berkaitan dengan akad salam ( pesanan) (a) sifatnya harus memungkinkan dapat
dijangkau pembeli untuk dapat ditimbang atau diukur, (b) dalam akad harus
disebutkan kualitas dari barang yang akan diperjual belikan, (c) barang yang di
serahkan sebaiknya barang yang di perjual belikan dipasar dan (d) harga
hendaknya disetujui pada saat ditempat akad berlangsung. Apabila dalam akad
salam (pesanan) penjual dan pembeli tidak melaksanakan salah satu syarat yang
telah ditentukan maka akad jual beli itu belum dikatakan sah dalam syara’ yang
berlaku.[21]
Ø Macam-Macam Jual
Beli dalam Islam
Jual
beli ditinjau dari segi benda dibagi
menjadi tiga macam. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, jual beli
dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Jual beli barang yang kelihatan, 2) Jual
beli yang disebutkan sifat–sfat nya dalam janji dan 3). Jual beli benda yang
tidak ada.[22]
Jual
beli benda yang kelihatan maksudnya pada waktu melakukan akad jual beli antara
pembeli dan penjual ada yang di perjual belikan ada di depan mata. Hal ini
banyak masyarakat yang melakukannya, ini dibolehkan, contoh di pasar membeli
beras. Tapi, juga ada praktek di masyarakat jual beli yang hanya menyebutkan
sifatnya atau contohnya, hal ini
dilakukan di masyarakat dalam jual beli pesan barang, misalnya, pesan makanan,
disebut bai’ salam dalam hukum Islam dibolehkan. Sedangakan jual beli yang
barangnya belum ada atau sifatnya belum ada seperti membeli kacang dalam tanah,
membeli ikan dalam kolam belum jelas, dalam hukum Islam tidak diperbolehkan.
Kecuali bagi orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian dalam menaksir, maka
diperbolehkan.[23]
Ø Hak dan Kewajiban
antara Penjual dan Pembeli
Untuk
menghindari dari kerugian salah satu pihak maka jual beli haruslah dilakukan
dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain yang
dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan bagi
kedua belah pihak maka kedua belah pihak haruslah melaksanakan apa yang menjadi
hak dan kewajiban masing-masing, diantaranya:
pihak penjual menyerahkan barangnya sedangkan pihak pembeli menyerahkan
uangnya sebagai pembayaran. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hendaklah
dilakukan penulisan dari transaksi tersebut. Sebagaiman firman Allah SWT yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar” (QS.
Al-Baqarah: 282).[24]
Selain
penulisan untuk menghindari dari kemungkinan perselisihan, pengingkaran dan
pemalsuan, maka diperlukan adanya saksi. Firman Allah: “Dan
periksakanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (diantaramu), jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorng lelaki dan dua orang perempuan
dari saksisaksi yang ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya” (QS. Al-Baqarah: 282). Dalam ayat tersebut dapatlah
dipahami bahwa antara penjual dan pembeli mempunyai hak dan kewajiban, yang
mana hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.[25]
Ø Khiyar dalam Bisnis
Islam
Khiar
adalah mencari kebaikan dari kedua perkara yaitu melangsungkan atau membatalkan
(Sabiq,1988:100). Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah
diperbolehkannya memilih apakah jual itu diteruskan apa dibatalkan karena suatu
hal (suhendi, 2007:83).[26]
Adapun
dasar hukum khiyar di jelaskan pada hadits sebagai berikut :
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda
: masing-masing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi jual beli dianatara
mereka sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual beli khiyar
(Muslim,t.th:22).[27]
Khiyar
secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama,
Khiyar Majelis , artinya antara penjual
dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya saat
teransaksi masih berlangsung ditempat
teransaksi, apabila akad dalam jual beli telah dilaksanakan oleh pihak penjual
dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama
keduanya masih berada di tempat akad (Sabiq, 1988:101). Khiyar majelis
dinyatakan gugur apabila dibatalkan penjual dan pembeli setelah akad, apabila
salah satu dari keduanya membatalkan maka khiyar yang lain masih berlaku dan
khiyar terputus apabilah salah satu dari keduanya telah meninggal dunia (Sabiq,
1988: 209).[28]
Kedua,
Khiyar Syarat, yaitu penjual dan pembeli di dalamnya disyaratkan sesuatu boleh
penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai di beli
kalau tidak pas atau tidak cocok boleh di kembalikan. Dalam penjualan yang di
dalamnya disyaratkan sesuatu yang baik oleh penjual maupun pembeli
(Suhendi,2007:84).[29]
Sebab-sebab
berakhirnya khiyar syarat adalah sebagai berikut : (a) adanya pembatalan akad,
(b) melewati batas waktu khiyar yang telah disepakati/ditetapkan. Ada perbedaan
pendapat tentang batas waktu khiyar, menurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah
berpendapat bahwa jangka waktu khiyar adalah tiga hari, sedangkan menurut Imam
Malik jangka waktu khiyar adalah sesuai dengan kebutuhan (Sabiq,1988:102 ), (c)
terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari
segi jumlah seperti beranak atau mengembang, (d) terjadi kerusakan pada objek
akad. Jika kerusakaan tersebut terjadi dalam penguasaan pihak penjual maka
akadnya batal dan berkhirlah khiyar. Namun apabila kerusakaan terjadi dalam
penguasaan pihak pembeli maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad
dan (e) wafatnya Shohibul khiyar, ini menurut pendapat madzhab Hanafiyah dan
Hambaliah. Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hak
khiyar dapat berpindah kepada ahli waris ketika shohibul khiyar telah wafat
(Mas’adi,2002:111).[30]
Ketiga,
Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda – benda yang
dijual belikan, misalnya jika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai
rumah ada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila
barang yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli
berhak mengembalikan barang tersebut kepada penjual (Rasjid,1976:277). Hak yang
dimiliki oleh salah seorang dari aqidain untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika menemukan cacat pada objek akad dimana pihak lain tidak
memberitahukannya pada saat akad (Mas’adi,2002:112). Khiyar aib ini didasarkan
pada hadits Uqbah Ibn Amir, r.a: Dari
Uqbah Ibn Amr berkata : saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : seorang muslim
adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal seorang muslim menjual
kepada saudaranya sesuatu yang mengandung kecacatan kecuali ia harus
menjelaskan kepadanya.[31]
Khiyar
aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut; (a) Aib ( cacat) tersebut
sebelum akad atau setelah akad namun belum terjadi penyerahan. Jika cacat
tersebut terjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam penguasaan pembeli maka
tidak berlaku hak khiyar, (b) Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut
ketika berlangsung akad atau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli
sebelumnya telah mengetahuinya maka tidak ada hak khiyar baginya (c) Tidak ada
kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab terhadap
segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak
khiyar bagi pembeli menjadi gugur.[32]
Khiyar
aib ini berlaku semenjak pembeli mengetahui cacat setelah berlangsungnya akad.
Adapun batas waktu menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di
kalangan fuqoha. Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku
secara tarakhi (pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad
ketika ia mengetahui cacat tersebut). Sedang menurut fuqaha Malikiyah dan
Syafi‟iyah, batas waktunya berlaku secara faura (seketika, artinya pihak yang
dirugikan harus menggunakan hak khiyar secepat mungkin, jika ia mengulur- ulur
waktu tanpa alasan yang dapat dibenarkan maka hak khiyar gugur dan akad
dianggap telah lazim / pasti).[33]
Hak
khiyar aib ini gugur apabila: (a) Pihak yang dirugikan merelakan setelah ia
mengetahui cacat tersebut, (b) Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut
pembatalan akad, (c) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan
pihak pembeli dan (d) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan
pihak pembeli, baik dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun dari
segi ukuran seperti mengembang.[34]
3.
Konsep Jual beli ijon
Ø Pengertian ijon
Jual beli ijon disisni adalah jual
beli buah yang belum jelas kemanfaatanya, karena jual beli buah yang belum
berbentuk ( masih berupa bunga atau belum muncul sama sekali ) adalah jual beli
yang dilarang menurut para ulama’ karena jual beli semacam itu termasuk dalam
kategori jual beli yang belum dimiliki atau jual beli ghoror ( penipuan karena
pasti salah satu pelaku akan tertimpa kerugian).[35]
Dalil-dalil yang berkaitan:
1. Dari Ibnu Umar r.ha : “ Rosululloh
melarang jual beli buah hingga terlihat jelas kebaikanya, beliau melarang dari
menjual maupun membeli “ ( dikeluarkan oleh ashabussunan kecuali Tirmidzi ) dan
dalam riwayat yang lain apa bila beliau ditanya tentang kebaikan tersebut,
beliau menjawab, sampai hilang gangguanya “. [36]
2. Dari Annas bin Malik r.a dari Nabi
sholallohu ‘alaihi wa salam : beliau melarang jual beli buah sampai berkembang,
dikatakan bagaimana berkembangnya ?, beliau menjawab, memerah atau menguning. (
dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim ) [37]
3. Dari Anas r.a adalah Nabi
sholallohu ‘alaihi wa salam melarang jual beli anggur sampai menghitam dan biji
sampai mengeras ( dikeluarkan oleh Imam yang 5 kecuali Hakim dan Ibnu Hibban ) [38]
4. Dari Abu Huroiroh r.a berkata : “
Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam bersabda : janganlah kalian jual beli buah
hingga jelas kemanfaatanya “ ( dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Muslim, An-Nasa’I
dan Ibnu Hibban)[39]
Berdasarkan hadits-hadits di atas
kita bisa menyimpulkan bahwa jelas kemanfaatan dimana buah tersebut sudah bisa
dimanfaatkan dapat dilihat dari dua perkara : 1. Nampak tanda-tanda masak,
sebagaimana riwayat pertama ( memerah atau menguning ) dan pada riwayat kedua (
sampai menghitamnya anggur dan mengerasnya biji ) 2. Hilangnya gangguan atau
penyakit, hal ini di dasarkan kepada kekuatan perkiraan bahwa buah tersebut
tidak terserang penyakit, sebagaiman riwayat Ibnu Umar ketika Rosul ditanya
tentang kemanfaatanya, beliau menjawab, sampai hilang penyakitnya.[40]
Ø Hukum jual beli ijon
Jual beli buah yang belum Nampak
kemanfaatanya ( ijon ) tidak akan terlepas dari dua kemungkinan yaitu buah
tersebut dijual tersendiri maupun dijual beserta pangkalnya ( pohonya ), jika
dijual buahnya saja maka akan masuk kepada dua kemungkinan pula, yaitu adanya
pensyaratan pemetikan langsung dan adanya pensyaratan dibiarkan menetap di
pohon, atau tidak adanya syarat secara mutlak ( bisa jadi dipetik sebagian
dibiarkan sebagian yang lain ). Adapun jual beli buah beserta pohonya, maka
tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ tentang kebolehanya, karena buah
masuk dalam bagian dari pohon yang dijual belikan, sehingga dalam hal ini tidak
terdapat unsure penipuan dan saling merugikan.[41]
Demikian pula menjual buah secara
terpisah dari pohonya ( jual buahnya saja ) dengan syarat segera dipetik, para
ulama’ juga membolehkan dengan syarat buah yang dibeli tersebut telah
mendatangkan manfaat bagi pembelinya. Begitu pula jika pembeli merupakan
pemilik asal ( pohon ) , hukumnya adalah boleh secara mutlak menurut para
fuqoha’, hal ini dikarenakan terjadinya kepemilikan secara sempurna kepada
pembeli, tidak ada alasan dalam hal ini meskipun penjual mensyaratkan adanya
pemetikan secara langsung, maka pembeli tidak harus mensyaratkan adanya
pemetikan secara langsung, maka pembeli tidak harus melaksanakan. Namun
sebagian ulama’ berpendapat tetap tidak diperbolehkan berdasarkan keumuman
dalil, serta masih adanya unsur goror dengan kemungkinan rusak sebelum dipetik.[42]
Jika penjualan buah secara
tersendiri ( tidak beserta pohonya ) dan pembeli mensyaratkan adanya ketetapan
di pohon ( tidak langsung dipetik ) maka menurut jumhur fuqoha’ jual beli
seperti ini adalah haram.[43]
Apabila pembeli bukan merupakan
pemilik asli ( pohon ) dan ia hanya membeli buahnya saja, dia tidak
mensyaratkan adanya pemetikan secara langsung atau pembiaran di pohon, jumhur
ulama’ mengatakan harom hukumnya disebabkan karena keumuman dalil, sedang
menurut madzhab Hanafi, aqd seperti ini boleh tetapi si pembeli harus segera
memetiknya.[44]
Kedudukan larangan:
1. Jumhur ulama’, Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah bersepakat bahwa jual beli ijon dengan system yang telah
disebutkan di atas adalah batil dan hukumnya harom.
2. Menurut Hanafiyah : akad seperti
ini rusak tetapi tidak batal, yaitu apabila pembeli bukan merupakan pemilik
asli ( pohon ) kemudian ia mensyaratkan ketetapan di pohon.[45]
Ø Jual beli ijon sama dengan riba
Selama ini kebanyakan dari kita
mengira bahwa riba semata mata hanyalah membungakan uang. Padahal pengertian
riba jauh lebih luas daripada itu. Segala jenis transaksi yang membuat nilai
tukar suatu barang terhadap barang lain atau alat tukar menjadi berlebih dan
tidak sepatutnya, (unjustified increment of the value by its countervalue)
termasuk dalam riba. Membeli sesuatu yang tidak jelas bentuknya / belum ada
alias IJON adalah riba. Membeli anak sapi yang masih dalam kandungan, itu jelas
jelas riba. Dengan demikian, future trading atau bahasa kerennya bursa komoditi
adalah jelas jelas riba. [46]
Ø Alasan petani lebih menyukai sistem ijon
Petani meminjam uang dan
mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya
konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong
maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada
kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai
penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang
sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu
keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini
yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang
dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong.
Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi
karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak
diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika
ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.[47]
Prosedur pinjaman dengan sistem
ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini
yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan
praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa
(BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang
dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka
mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya
ijon bukan hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya
ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga
karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat.[48]
Tengkulak sebagai kreditor dan
pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan
tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari
selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah
karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan
bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan
akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan
dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan
untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.[49]
Upaya yang dilakukan untuk
membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah.
Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk
koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon
ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem
ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah
perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang
diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah
bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi
dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah
usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata
hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi
bangunan tua, kokoh yang tak runtuh-runtuh.[50]
Dahulu, petani mengijon karena
memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun
setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang
berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia
bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang
memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang
cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon.[51]
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan
penulis adalah penelitian lapangan. Penelitian lapangan merupakan salah satu metode
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan pengetahuan
mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak
peneliti. Penelitian lapangan biasa dilakukan untuk memutuskan ke arah mana
penelitiannya berdasarkan konteks. Penelitian lapangan biasa diadakan di luar
ruangan.[52]
B.
Pendekatan Penelitian
Berdasarkan jenis
penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan kualitatif, karena dalam penelitian ini lebih mengarah
pada pengamatan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Sebagaimana
dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif merupakan suatu
pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada memahami fenomena
atau gejala sosial tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian guna
memperoleh pemahaman yang mendalam yang selanjutnya menghasilkan sebuah teori.[53]
C.
Lokasi Penelitian
Adapun penelitian ini dilaksanakan
di Desa Mamben Baru Kec.Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
D.
Objek Penelitian
Adapun yang menjadi objek dalam
penelitian ini adalah praktik jual beli ijon di Desa Desa Mamben Baru
Kec.Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
E.
Sumber Data
Jenis sumber data yang dipergunakan
dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh peneliti secara langsung dari tangan pertama, sementara
data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada.
Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data primer yaitu Masyarakat Desa Mamben Baru Kec.Wanasaba Kabupaten
Lombok Timur yang terdiri dari: para pembeli dan penjual yang melakukan praktik
jual beli ijon.
Penulis mendapatkan data primer
dari masyarakat Mamben Baru dengan cara observasi(pengamatan) yang berkaitan
dengan praktik jual beli dengan sistem ijon.
Penulis mengambil data sekunder
berupa buku-buku, jurnal, ataupun artikel dari internet tentang hukum jual beli
dengan sistem ijon.
F.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
penulis pakai adalah Pengamatan (observasi).
Obrservasi
merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang tidak hanya mengukur sikap
dari responden (wawancara dan angket) namun juga dapat digunakan untuk merekam
berbagai fenomena yang terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakan bila
penelitian ditujukan untuk mempelajari perilaku manusia, proses kerja,
gejala-gejala alam dan dilakukan pada responden yang tidak terlalu besar.[54]
G.
Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, maka
tahap berikutnya adalah menganalisis data tersebut. Analisis data adalah proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan.[55]
Analisis data penelitian kualitatif
dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana
yang akan dikaji dimulai sejak sebelum peneliti memasuki lapangan, dilanjutkan
pada saat peneliti berada di lapangan secara interaktif dan berlangsung terus
menerus sampai tuntas sehingga datanya jenuh. Kejenuhan data ditandai dengan
tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru.[56]
Dalam menganalisis data selama di
lapangan, peneliti menggunakan analisis model Miles dan Huberman. Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran
kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi
baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta Penarikan
kesimpulan dan verifikasi (conclusion
drawing / verification).[57]
Adapun langkah-langkah analisis
yang peneliti lakukan selama di lapangan
diantaranya adalah:
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti
membuat rangkuman, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting,
mencari tema dan pola, serta membuang yang dianggap tidak perlu. Dengan
demikian, data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih spesisifk dan
mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya serta mencari data
tambahan jika diperlukan. Semakin lama peneliti berada di lapangan, jumlah data
akan semakin banyak, semakin kompleks dan rumit. Untuk itulah diperlukan
reduksi data sehingga data tidak betumpuk dan mempersulit analisis selanjutnya.[58]
2. Penyajian Data
Setelah
data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah penyajian (display) data. Penyajian data diarahkan
agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan,
sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk
uraian naratif, bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), dan lain sejenisnya.
Penyajian data dalam bentuk-bentuk tersebut akan memudahkan peneliti memahami
apa yang terjadi dan merencanakan kerja penelitian selanjutnya.[59]
3. Verifikasi Data (Conclusion
Drawing)
Langkah
berikutnya dalam proses analisis data kualitatif adalah menarik kesimpulan
berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Kesimpulan awal yang
dikemukan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti
kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan
bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti
konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka
kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.[60]
DAFTAR
PUSTAKA
Nur Laily Lutfiah, “Sistem Ijon Dalam Jual Beli Ikan (Studi Kasus Jual Beli Ikan Di Desa
Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, Skripsi
(IAIN Walisongo, Semarang,2013)
http//www.eprints.walisongo.ac.id/629/1/082311024.coverdll.pdf (diambil 26 Juni
2018).
Zakiatul Fitria, “Praktik Jual Beli Buah-buahan di
Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Gampong Terbangan, Kec.
Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”, Skripsi Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, 2016, https://repository.ar-
raniry.ac.id/1759/1/Zakiatul%20Fitria.pdf
(diambil 26 Juni 2018).
Dri Santoso, Lukman
Hakim, “Jual Beli Ijon Dalam Persektif
Hukum Islam”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, STAIN Jurai Siwo Metro,
2013, hal.4.
Ahmad Ridwan, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem Ijon
Di Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat” Skripsi
Institut Agama Islam Negeri Mataram (2010)
,http://etheses.uinmataram.ac.id/61/1/Ahmad%20Ridwan152121028pdf%20.pdf
(diambil 26 Juni 2018).
Salahuddin Mukhlis, “Kajian Perekonomian Desa Mamben Baru Dalam
Upaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat” (07
September 2014),
http://salahuddininstitute.blogspot.com/2014/09/kajian-perekonomian-desa-mamben-baru.html
, (akses 03 Mei 2018).
Shobirin, “Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Bisnis
dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hal 242-259.
Ponpes Islam Al Ittihad
Banyumas, “Jual Beli Ijon” (25
Februari 2015), http://ppialittihad.blogspot.co.id/2012/02/jual-beli-ijon.html
(akses 03 Mei 2018)
Ichlasul Amal Rangga
Winata, “Sistem Ijon Sama Dengan Riba”
(16 Januari 2009),
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/sistem-ijon-sama-dengan-riba.html
(akses 03 Mei 2018)
Wikipedia, “Penelitian Lapangan”
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Penelitian_lapangan.html
(akses 26 Juni 2018)
Fajar Fitrianto, “Pendekatan kualitatif & Kuantitatif”
(28 Maret 2017), http://fajarfitrianto.hol.es/?p=762.html (akses 26 Juni 2018)
Rezky Ardian Sepputra, “Artikel Metode Pengumpulan Data Dalam Penelitian”
(04 November 2016),
http://rezkyardian.blogspot.in/2016/11/artikel-metode-pengumpulan-data-dalam.html
(akses 19 Mei 2018).
Masri Singarimbun dan
Sofyan Affendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 263.
Rahmat Sahid, “Analisis Data Penelitian Kualitatif Model Miles Dan Huberman” (11 Juli 2011),
http://sangit26.blogspot.com/2011/07/analisis-data-penelitian-kualitatif.html ,
(akses 19 Mei 2018)
Surya Dharma, “Pengolahan Dan Analisis Data
Penelitian” (Jakarta, Juni 2008)
hal 13. http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/downloads/2011/02/31-05-B5-Pengolahan-dan-Analisis-Data-Penelitian.doc
(diambil 19 Mei 2018)
[1] Nur Laily Lutfiah, “Sistem Ijon Dalam Jual Beli Ikan (Studi Kasus
Jual Beli Ikan Di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, Skripsi (IAIN Walisongo,
Semarang,2013) http//www.eprints.walisongo.ac.id/629/1/082311024.coverdll.pdf
(diambil 26 Juni 2018).
[2] Zakiatul Fitria, “Praktik
Jual Beli Buah-buahan di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di
Gampong Terbangan, Kec. Pasie Raja, Kab. Aceh Selatan)”, Skripsi Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh, 2016, https://repository.ar-raniry.ac.id/1759/1/Zakiatul%20Fitria.pdf
(diambil 26 Juni 2018).
[3] Dri Santoso, Lukman
Hakim, “Jual Beli Ijon Dalam Persektif
Hukum Islam”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, STAIN Jurai Siwo Metro,
2013, hal.4.
[4] Ahmad Ridwan, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktik Jual Beli Durian Dengan Sistem Ijon Di Desa Karang Bayan Kecamatan
Lingsar Kabupaten Lombok Barat” Skripsi Institut Agama Islam Negeri Mataram (2010)
,http://etheses.uinmataram.ac.id/61/1/Ahmad%20Ridwan152121028pdf%20.pdf
(diambil 26 Juni 2018).
[5] Salahuddin Mukhlis, “Kajian Perekonomian Desa Mamben Baru Dalam
Upaya Pemenuhan Kebutuhan Dasar Menuju Kemandirian Ekonomi Masyarakat” (07
September 2014),
http://salahuddininstitute.blogspot.com/2014/09/kajian-perekonomian-desa-mamben-baru.html
, (akses 03 Mei 2018).
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Shobirin, “Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Bisnis
dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015, hal 242.
[9] Ibid, hal 243.
[10] Ibid, hal 244.
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 245.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid, hal 247-248.
[16] Ibid, hal 248
[17] Ibid, hal. 249
[18] Ibid, hal 251
[19] Ibid, hal 251-252
[20] Ibid, hal 252
[21] Ibid, hal 253
[22] Ibid, hal 255
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid, hal 256
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid, hal 257
[29] Ibid
[30] Ibid, hal 257-258
[31] Ibid, hal 258
[32] Ibid, hal 258
[33] Ibid, hal 259
[34] Ibid
[35] Ponpes Islam Al Ittihad
Banyumas, “Jual Beli Ijon” (25
Februari 2015), http://ppialittihad.blogspot.co.id/2012/02/jual-beli-ijon.html
(akses 03 Mei 2018)
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Ibid
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Ichlasul Amal Rangga
Winata, “Sistem Ijon Sama Dengan Riba”
(16 Januari 2009),
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/sistem-ijon-sama-dengan-riba.html
(akses 03 Mei 2018)
[47] Ibid
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Wikipedia, “Penelitian Lapangan”
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Penelitian_lapangan.html (akses 26 Juni 2018)
[53] Fajar Fitrianto, “Pendekatan kualitatif & Kuantitatif”
(28 Maret 2017), http://fajarfitrianto.hol.es/?p=762.html (akses 26 Juni 2018)
[54] Rezky Ardian Sepputra, “Artikel Metode Pengumpulan Data Dalam
Penelitian” (04 November 2016),
http://rezkyardian.blogspot.in/2016/11/artikel-metode-pengumpulan-data-dalam.html
(akses 19 Mei 2018).
[55] Masri Singarimbun dan
Sofyan Affendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hlm. 263.
[56] Rahmat Sahid, “Analisis Data Penelitian Kualitatif Model Miles Dan Huberman” (11 Juli 2011),
http://sangit26.blogspot.com/2011/07/analisis-data-penelitian-kualitatif.html ,
(akses 19 Mei 2018)
[57] Ibid
[58] Surya Dharma, “Pengolahan
Dan Analisis Data Penelitian” (Jakarta, Juni 2008) hal 13. http://gurupembaharu.com/home/wp-content/uploads/downloads/2011/02/31-05-B5-Pengolahan-dan-Analisis-Data-Penelitian.doc
(diambil 19 Mei 2018)
[59] Ibid
[60] Ibid
No comments:
Post a Comment